Minggu, 23 Desember 2012

modernitas dan kehampaan manusia modern etika bisnis



Modernitas Dan Kehampaan Manusia Modern

Salah satu ciri masyarakat modern yang paling menonjol ialah sikapnya yang sangat agresif terhadap kemajuan (progress). Didorong oleh berbagai prestasi yang dicapai oleh ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), masyarakat modern berusaha mematahkan mitos kesakralan alam raya. Semua harus tunduk atau berusaha ditundukkan oleh kedigdayaan iptek yang berporos pada rasionalitas. Realitas alam raya yang oleh doktrin-doktrin agama selalu dikaitkan dengan selubung metafisika dan kebesaran Sang Pencipta, kini hanya dipahami semata-mata sebagai benda otonom yang tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Alam raya dipahami sebagai jam raksasa yang bekerja mengikuti gerak mesin yang telah diciptakan dan diatur sedemikian rupa oleh tukang jam yang Maha Super (Tuhan), untuk selanjutnya Tuhan pensiun dan tak ada lagi urusannya dengan kehidupan ini. Sesungguhnya kehidupan yang baik tidak mungkin tercapai hanya semata-mata mengandalkan kehidupan material saja.[1]
Di zaman yang semakin canggih teknologinya seperti saat ini, justru akhlak manusia semakin menurun, banyak sekali alat-alat canggih untuk berbuat kebaikan namun tidak kalah juga alat-alat yang digunakan untuk berbuat kejahatan. Kenyataanya akhlak-akhlak yang dimiliki orang-orang pada saat sekarang ini lebih banyak akhlak buruknya. Bukan hanya kaum non muslim, tetapi juga kaum muslim sendiri. Dan dalam masalah bisnis, masih ada saja orang yang meakukan kegiatan bisnisnya dengan tidak memperhatikan masalah kemaslahatan ummat, seperti membuang limbah perusahaannya sesuka hatinya. Dan ada juga pada saat sekarang ini yang melakukan bisnis dengan tidak jujur, Mereka buta dalam masalah kekayaan, sehingga berani melakukan apa saja untuk mendapatkannya walupun denga cara yang tidak halal, dan mereka hanya memikirkan kebahagiaan dunia semata dan tidak memperhatikan kebahaigaan akhirat. Seharusnya mereka harus lebih mendahukan spiritualitas dalam bisnis agar hal-hal semacam itu tidak terjadi.
Dalam memahami dunia, dunia materi dan non-materi dipahami secara terpisah sehingga dengan cara demikian masyarakat modern merasa semakin otonom, dalam arti tidak lagi membutuhkan campur tangan Tuhan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya. Hasilnya ialah, sebagaimana tadi disebutkan, bahwa masyarakat modern sangat agresif terhadak kemajuan.

            Modernisme yang berporos pada rasionalitas harus diakui telah mampu mengantarkan manusia pada berbagai prestasi kehidupan yang belum pernah dicapai pada masa-masa sebelumnya. Manusia modern pun semakin merasa yakin untuk mengucapkan “selamat tinggal” kepada Tuhan. Bersamaan dengan ditempatkannya manusia sebagai “pusat dunia” dan ukuran keunggulan karena memiliki kekuatan logika dan rasionalitas, maka agama yang mendengungkan ajaran-ajaran irrasional dengan sendirinya dipandang sebagai sisa-sisa dari primitive culture (budaya primitif).
Jika dilihat dalam pandangan sisi lain, orang juga mulai menyesalkan fungsi dan peranan agama yang seharusnya bisa membimbing manusia dalam memahami dan menghayati nilai-nilai transendental untuk menumbuhkan nilai-nilai luhur pada kehidupan individual maupun sosial sehingga masyarakat modern tidak terjerat pada kebanggan materi belaka. Tetapi, sebagaimana dikatakan oleh E.F. Schumacher, penyesalan akan memudarnya fungsi  agama  itu sebenarnya tidak berasal dari wawasan rohani, melainkan dari kecemasan materialistik yang ditimbulkan oleh krisis lingkungan, krisis bahan bakar, ancaman akan krisis bahan makanan dan petunjuk akan datangnya krisis kesehatan. Namun, sebagai orang beriman, kita      dapat mentransendensikan kenyataan-kenyataan krisis tersebut sebagai bagian dari ulah manusia sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’ân surat al-Isrâ’ ayat 72 yang mengatakan, “Kerusakan timbul di darat maupun di laut akibat perbuatan tangan manusia.”

Schumacher lebih lanjut menandaskan bahwa, kini semakin banyak orang yang menyadari akan “percobaan modern” telah gagal. Percobaan itu mendapatkan rangsangan mula-mula dari revolusi ala Descartes yang berusaha memisahkan manusia dari Tuhan, tandas Schumacher, menutup gerbang-gerbang surga terhadap dirinya sendiri dan mencoba dengan daya kerja dan kecerdikan yang besar sekali, membutakan dan mengurung diri
mereka di bumi yang sempit. Jelaslah bahwa yang dimaksud oleh Schumacher dengan percobaan modern yang gagal itu ialah percobaan manusia untuk hidup tanpa Tuhan dan agama. Pernyataan Schumacher itu mengingatkan kita pada penegasan al-Qur’ân dalam Surat Thaha            ayat     124:
  
Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunnya pada hari kiamat dalam keadaan buta” .

Sampai saat ini paradigma “the idea of progress” (gagasan tentang kemajuan) masih sangat dominan dalam alam pikiran masyarakat modern (baca: Barat). Dan diakui atau tidak hal itu telah menjadi penyangga bagi kemajuan teknologi modern yang memiliki arti yang vital bagi kelangsungan hidup manusia. Tetapi justru di titik ini pula berbagai kritik mulai banyak dilontarkan orang. Tatkala prestasi di bidang iptek dijadikan satu-satunya acuan dan ukuran keberhasilan, maka yang terjadi adalah proses pendangkalan kualitas hidup. Nilai-nilai
kehidupan seperti kebersamaan, solidaritas sosial, kasih sayang antar sesama mulai tergeser dari keprihatinan dan wacana keseharian ketika keserakahan pada materi yang disimbolkan oleh keberhasilan iptek menjadi acuan yang dominan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar