IJMA’
A . Pengertian Ijma’
1. Menurut bahasa
Ijma’ menurut bahasa artinya sepakat, setuju atau
sependapat.
2. Menurut istilah
Menurut istilah ijma' ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam
tentang hukum syara' dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW wafat.
B. Dasar Hukum Ijma'
Dasar hukum ijma' ialah aI-Qur'an, al-Hadits
dan akal pikiran.
1. Al-Qur’an
Firman Allah dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat
59 yang artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah
dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu”.
Perkataan ulil amri
yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan yang
bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan
dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil
amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil
amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu
peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum
muslimin.
2. Hadist
Bila
para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa
atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin
melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
Artinya: "umatku tidak akan bersepakat untuk
melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
C. Rukun-rukun Ijma’
Ulama-ulama ushul fiqh menetapkan rukun-rukun
ijma' sebagai berikut:
1. ada
beberapa orang mujtahid dikala terjadinya peristiwa dan para mujtahid itulah
yang melakukan kesepakatan.
2. Yang
melakukan kesepakatan itu hendaklah semua mujtahid yang ada dalam dunia Islam.
Jika kesepakatan itu hanya dilakukan oleh para mujtahid yang ada pada suatu
negara saja, maka kesepakatan yang demikian belum bisa dikatakan suatu ijma'.
3. Kesepakatan
itu harus dinyatakan secara tegas oleh setiap mujtahid bahwa ia sependapat
dengan mujtahid-mujtahid yang lain tentang hukum (syara') dari suatu peristiwa
(permasalahan) yang terjadi pada masa itu.
4. Kesepakatan
itu hendaklah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. jika
terjadi suatu kesepakatan oleh sebahagian besar mujtahid yang ada, maka
keputusan yang demikian belum pasti ke taraf ijma'.
D. Kemungkinan Terjadinya Ijma’
Pada
masa Rasulullah Saw masih hidup, beliau merupakan sumber hukum. Setiap ada
peristiwa atau kejadian, kaum muslimin mencari hukumnya pada al-Qur'an yang
telah diturunkan dan hadits yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw. Jika
mereka tidak menemukannya dalam kedua sumber itu, maka mereka langsung
menanyakannya kepada Rasulullah.
Setelah Rasulullah SAW meninggal dunia, kaum
muslimin kehilangan tempat bertanya, akan tetapi mereka telah memiliki pegangan
yang lengkap, yaitu al-Qur'an dan al-Hadits.
Jadi, ijma' itu kemungkinan terjadi pada masa
khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar atau sedikit kemungkinan pada masa enam tahun
pertama Khalifah Utsman. Hal ini adalah karena pada masa itu kaum muslimin
masih satu, belum ada perbedaan pendapat yang tajam diantara kaum muslimin
sendiri, disamping daerah Islam belum begitu luas, masih mungkin mengumpulkan
para sahabat atau orang yang dipandang sebagai mujtahid.
Setelah
enam tahun bahagian kedua kekhalifahan Utsman, mulailah nampak gejala-gejala
perpecahan di kalangan kaum muslimin. Setelah Khalifah Utsman terbunuh,
perpecahan di kalangan kaum muslimin semakin terjadi, seperti peperangan antara
Ali bin Abi Thalib dengan Mu'awiyah bin Abu Sofyan, peperangan antara Ali bin
Abi Thalib dengan Aisyah yang terkenal dengan perang Jamal, timbul golongan
Khawarij, golongan Syi'ah golongan Mu'awiyah dan sebagainya.
Dari keterangan di atas
dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut:
- Ijma' tidak diperlukan pada masa Nabi Muhammad SAW;
- Ijma' mungkin terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin
Khattab, dan enam tahun pertama Khalifah Utsman, dan setelah enam tahun kedua pemerintahan
Khalifah Utsman sampai saat ini tidak mungkin terjadi ijma' sesuai dengan
rukun-rukun yang telah ditetapkan di atas, mengingat keadaan kaum muslim
yang tidak bersatu serta luasnya daerah yang berpenduduk Islam .
E. Macam-macam ijma’
Sekalipun
sulit membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, akan tetapi dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh
diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa
segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
Jika
ditinjau dari segi terjadinya, maka ijma’ terbagi 2 :
1. ljma' bayani, yaitu para
mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas
2. Ijma' sukuti, yaitu para
mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas
dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi
terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup
di masanya.
jika ditinjau dari segi yakin atau tidaknya, maka ijma’
terbagi 2 :
1. ljma' qath'i, yaitu hukum
yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya.
2. ljma' zhanni, yaitu hukum
yang dihasilkan ijma' itu zhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari
peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad
orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar