SPIRITUALITAS
DAN BISNIS
Spiritualitas menurut komunitas
mahardika adalah sebuah rangkaian proses transendensi kehidupan manusia
sehingga berkarakter spiritual. Dan ada
juga yang mengartikan bahwa spiritual adalah segala sesutu yang bersifat tak
tampak , yang dalam istilah islam disebut ghaib, termasuk didalamnya
wujud-wujud atau eksistensi-eksistensi tak nyata dalam dunia ghaib, seperti
tuhan, malaikat, iblis atau setan, dan jin, serta aspek dan dimensi jiwa
manusia, seperti akal, hati, jiwa, nafsu dan lainnya.
Sedang kan bisnis ialah aktivitas
yang dilakukan individu atau organisasi dengan tujuan untuk memperoleh laba
atau keuntungan. kata bisnis dari bahasa Inggris business, yaitu
kata dasar busy yang berarti “sibuk” dalam konteks individu maupun komunitas,
ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan
yang mendatangkan keuntungan yang bayak.
Pemikiran spiritual (atau
pemikiran mengenai spiritual) dalam islam dikenal dengan tasawuf, atau mistisme
Islam, atu sufisme. Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw. Menjadi sumber utama
dalam memahami spiritual.
Islam sebagaimana di dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw.
Mengajarkan dunia spiritual. Bahkan keyakinan pada keghaiban merupakan sebuah
kualitas inti dari seorang mukmin yang bertakwa, sementara ketaqwaan merupakan
kualitas pribadi yang di idealkan dalam ajaran islam. Al-Qur’an dan Hadist juga
sering menghubungkan ketaqwaan ini dengan realitas spiritual, seperti ketaqwaan
kepada Allah Swt. Reorientasi spiritual yang dimaksud diatas adalah meletakkan
kembali acuan-acuan spiritual kepada Allah Swt, dengan terlebih dahulu
seseorang harus memiliki perspektif yang lebih baik mengenai dunia spiritual di
dalam dirinya. selanjutnya dengan pemahaman yang memedai mengenai dunia
spiritual, seseorang diharapkan dapat berperilaku secara proporsional dan mampu
menyikapi secara bijak berbagai persoalan sosial ekonomi yang di hadapi.
Kebijakan dalam berperilaku dan bersikap ini tentunya sangat dibutuhkan bagi
proses pebanguna bangsa di masa mendatang. Kendatipun islam mengajarkan dunia
spiritual sebagai pasangan dunia materi atau duna nyata ini, namun sedikit
sekali yang memiliki perspektif yang memadai seperti yang diharapkan.
Sudah selayaknya para pebisnis,
apalagi pengusaha Muslim, menerapkan budaya manajemen spiritual, yakni
menempatkan nilai-nilai universalitas dalam tujuan pencapaian bisnis. Spirit
ibadah kepada Allah menjadi landasan bisnis yang sangat kokoh. Karena, setiap
aktivitas mendapatkan keuntungan yang selalu berkait erat kepada Sang Pencipta
(Creator). Itulah sebabnya tatanan kerja yang terbangun menjadi lebih sakral
dibanding sekadar mendapatkan keuntungan finansial semata. Kekuatan inilah yang
menjadi turbin penggerak semangat berjuang para penganutnya (man). Karena,
setiap langkah perjuangan menjadikan catatan sejarah kehidupan. Yang pasti, landasan peribadahan
dalam perjuangan di lahan bisnis harus menuju pada terciptanya dan terbaginya
kemakmuran secara adil (creation) kepada semua pihak yang terlibat. Yaitu, crew
(karyawan), customer (pelanggan), capital provider (pemilik modal), dan
community (masyarakat). Secara sadar, perusahaan diposisikan sebagai sebuah
organisme yang berdiri di atas akar rumput dan menyandang misi spiritualitas.
Kehadirannya bukan hanya sekadar untuk mendapatkan keuntungan bagi
pribadi-pribadi semata. Lebih dari itu, keberadaannya bertujuan untuk
mengangkat marwah manusia secara keseluruhan. Pendekatannya bukan hanya
pragmatis semata. Jauh dari itu, paradigma yang dibentuk adalah membangun
peradaban.
Ada suatu problem dalam masalah
ekonoim yaitu ketidak mampuan dalam
memecahkan persoalan kebutuhan manusia, maka pada era sekarang, oleh karena
itu, semakin banyak perusahaan yang menyandarkan aktivitas bisnis ataupun
lainnya pada aspek spiritualitas[3] (menjadi spiritual
company). Berbanding terbalik dengan perusahaan yang mengabaikan faktor
spiritual dalam operasionalnya,
perusahaan-perusahaan yang melandaskan aktivitasnya pada nilai-nilai
spiritual terbukti mampu bertahan dan berkembang secara baik.
Di
tengah deraan persaingan yang begitu ketat, mendapatkan satu jengkal kemajuan
meraih profit semakin susah, ditambah himpitan kebutuhan hidup yang kurvanya
selalu naik, godaan mendapatkan profit
dengan jalan meleburkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai manusia memang
terbentang luas dan lebar, dan gampang.
Justru pada titik inilah tetap menyisipkan balutan spiritual dan etika
sebagai penyaring (filter) ketika berbisnis. Sudah saatnya pelaku bisnis dan
profesional bisnis tidak hanya piawai menerapkan praktek-praktek bisnis, tetapi
juga tidak gagap ketika harus membangun pertemuan yang intens dengan Sang
Pencipta. Saatnya untuk mengaitkan benang merah antara bisnis dan ruh
spiritual. Karena menyadari bahwa Sang Pencipta Maha Melihat, segala tindakan
yang melenceng dari koridor dan etika bisnis pastilah dihindari.
Semangat
profesionalisme dalam berbisnis tanpa diimbangi aspek spiritual hanya akan melahirkan
manusia-manusia cerdas dan piawai tetapi alpa menebarkan sisi-sisi kemanusiaan
dan kesprituilannya dalam melakoni bisnis. Dengan menghubungkan benang merah
antara berbisnis dengan ruh spiritual tadi, diharapkan pelaku bisnis dan juga
kalangan profesional bisnis menyakini bahwa melakoni bisnis secara benar bukan
sekedar didorong karena aturan-aturan main memang mengatur itu, tetapi lebih
jauh menjalani bisnis dengan koridor yang benar karena itu merupakan sebuah
wujud ibadat yang lebih tinggi kepada Sang Penguasa Alam. Sehingga kalaupun
kesempatan untuk melenceng dari koridor dimungkinkan karena ada kelemahan di
sistem, tetapi karena mempercayai melakoni dengan benar adalah merupakan
perwujudan menjalankan perintah Allah Swt, penyimpangan-penyimpangan dalam
bisnis yang masih carut marut terjadi di negeri ini bisa diminimalisir.
Kegiatan
ekonomi dalam Islam dapat berubah dari kegiatan material semata menjadi ibadah
yang akan mendapat pahala, bila dalam kegiatan itu ia
mengharapkan keridhaan Allah Swt. Hal tersebut di benarkan dalam Hadist, bahwa
sebagian sahabat Nabi mengetahui seorang pemuda yang bergegas melakukan
pekerjaannya. Seorang sahabat berkata “seandainya ini pada jalan Allah
”. maka Nabi bersabda “janganlah berkata demikian, karena jika ia keluar
demi anaknya yang kecil-kecil, maka dia berada di jalan Allah. Jika ia keluar
demi ibu-bapaknya yang telah tua, ia ada di jalan Allah. Dan jika ia keluar
demi dirinya sendiri ia pun masih di jalan Allah. Namun jika ia ingin dipuji
orang atau karena membanggakan diri, ia berada di jalan detan. ”
Spiritualitas
sekaligus mengandung makna menuju pada integrasi (kepaduan) dan holisme
(keutuhan). Juga boleh dikatakan, lawan dari spritualitas ialah reduksionisme,
parokialisme, atau sektarianisme.
Karakter
spiritual dalam bisnis menjadi penting karena reduksionisme bisnis menjadi
misalnya hanya sekedar uang atau making money saja jelas akan menuju
kondisi ketidakseimbangan dan akhirnya menuju krisis dan kemudian keambrukan.
Dalam pengertian inilah kita lebih memahami pernyataan terkenal E. F.
Schumacher yang mengatakan bahwa semua krisis bermula dari krisis spiritual.
Sekarang dapat kita pahami bahwa krisis spiritual berarti macetnya
proses-proses transendensi yang kemudian bergerak menuju kemiskinan,
pendangkalan, mono-dimensionalisme, dan berakhir dengan krisis Jadi dengan
lugas dapat dikatakan bahwa spiritualitas itu memperkuat kehidupan; sedangkan
mengabaikannya berarti memperlemah kehidupan, membawa krisis dan ujungnya
kematian.
Transendensi secara umum
dilakukan dalam bentuk pendalaman vertikal maupun horizontal atas realitas yang
dikaji dengan menggunakan seluruh akal budi kita yang akhirnya mewujud menjadi
konsep, teori atau paradigma; dan selanjutnya mengubah praktik-praktik
kehidupan.
Sebuah contoh
sederhana dapat dikemukakan. Dalam Wisdom of the Electronic Elite dijelaskan
bahwa dewasa ini terjadi pemahaman-pemahaman yang meluas (transendensi)
dalam dunia bisnis sebagai berikut:
- Bahwa bisnis adalah ekosistem; bukan medan persaingan saja
- Bahwa perusahaan adalah komunitas; bukan mesin uang saja.
- Bahwa manajemen adalah pelayanan; bukan kontrol saja.
- Bahwa manajer adalah pelatih; bukan mandor saja.
- Bahwa karyawan adalah sejawat; bukan pembantu saja.
- Bahwa motivasi datang dari visi; bukan upah saja.
- Bahwa perubahan adalah pertumbuhan; bukan penderitaan saja.
Fenomena menarik
yang belakangan ini kita saksikan bersama adalah maraknya gairah para eksekutif
bisnis untuk mendalami nilai-nilai agama. Tempat-tempat ibadah dipenuhi para
eksekutif. Kantor-kantor, tak peduli perusahaan lokal maupun multinasional,
membuka tempat bagi eksekutif dan karyawannya untuk mengembangkan dan
mendiskusikan ajaran agama. Malah tidak sedikit para eksekutif menjadi aktivis
keagamaan yang kini menjadi trend kembali seperti tasawuf (Islam), karismatik
(Kristen). Maraknya trend para eksekutif mendalami kembali ritual-ritual agama
bagaimana pun harus dipahami sebagai sebuah ekspresi kerinduan mereka untuk
mengintegrasikan nilai-nilai etis, moral dan spiritual ke dalam lingkungan
bisnisnya yang cenderung sekuler, kering, dan materialistik.
Memang ada pendapat
sebagian orang bahwa eksekutif dan
birokrat yang mendalami agama hanya sekedar topeng, terbukti dengan tetap maraknya korupsi,
manipulasi dan kolusi di negeri ini
tidak seluruhnya dapat ditepis. Pertumbuhan tempat ibadah yang tampaknya
sejajar dengan pertumbuhan aktivitas korupsi, tak pelak menjadi ironi
tersendiri di tengah keinginan untuk memperbaiki moral warga negara.
Kita dapat
berpendapat bahwa gairah para eksekutif bisnis mendalami nilai-nilai dan ritual
agama kita pahami sebagai minat untuk mengembangkan bisnis yang berbasis pada
moralitas dan profesionalitas. Setelah cukup lama dikungkung oleh budaya kerja
yang jauh diri nilai-nilai luhur tersebut, kini para eksekutif mulai mengalami
pencerahan untuk membangun kehidupannya dengan nuansa spiritual yang pada gilirannya
akan mewarnai pula praktik bisnis yang digelutinya. Dalam wacana kita, etos
baru eksekutif inilah yang disebut sebagai spiritualitas bisnis.
DAFTAR PUSTAKA :
Hady,
Samsul. Islam spiritual. 2007. Malang : UIN Malang Press.
Al-Assal, Ahmad
Muhammad. 1999. Sistem, prinsip dan
tujuan ekonomi Islam.(Bandung:Pustaka Setia).
RI, Departemen
Agama. Al-Qur’an dan terjemahnya.
2005. Bandung : J-Art.
Qardhawi,
Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam. 1997.Jakarta : Gema Insani press.
Jus’maliani dkk. Bisnis
Berbasis Syari’ah. 2008. Jakarta : Bumi Aksara.
Abdullah, Yatimin. Studi
Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an. 2007.Jakarta : Sinar Grafika Offset.
Qardhawi,Yusuf. Peran
Nilai Moral daam Perekonomian Islam. 2001.Jakarta : Rabbani Press.
Yunus, Muh. Islam
dan Kewirausahaan Inovatif. 2008. Malang : UIN Malang Press.
Sukirno, Sadono. Pengantar
Bisnis. 2004.Jakarta : Prenada Media.
Amalia, Euis. Keadilan
Distributif Dalam Agama Islam. 2009. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada..
[1] Samsul
Hady. Islam spiritual. Malang : UIN Malang Press. 2007
[2] Sadono
Sukirno. Pengantar Bisnis. Jakarta : Prenada Media. 2004
[3] Euis
Amalia. Keadilan Distributif Dalam Agama Islam. Jakarta : PT.Raja
Grafindo Persada. 2009.
[4] Ahmad
Muhammad Al-Assal. Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam.(Bandung,
Pustaka Setia 1999)
[5] Yusuf
Qardhawi. Peran Nilai Moral daam Perekonomian Islam. Jakarta : Rabbani Press.
2001
[6] Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya. Bandung
: J-Art. 2005
[7] Jus’maliani
dkk. Bisnis Berbasis Syari’ah. Jakarta : Bumi Aksara. 2008
[8] Yatimin
Abdullah. Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta : Sinar
Grafika Offset. 2007.
[9] Yusuf
Qardhawi. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta : Gema Insani press.
1997
[10] Muh. Yunus.
Islam dan Kewirausahaan Inovatif. Malang : UIN Malang Press. 2008
[11] Samsul
Hady. Islam spiritual. Malang : UIN Malang Press. 2007
[12] Sadono
Sukirno. Pengantar Bisnis. Jakarta : Prenada Media. 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar