Minggu, 23 Desember 2012

spiritualitas dan bisnis




SPIRITUALITAS DAN BISNIS

Spiritualitas menurut komunitas mahardika adalah sebuah rangkaian proses transendensi kehidupan manusia sehingga berkarakter spiritual.  Dan ada juga yang mengartikan bahwa spiritual adalah segala sesutu yang bersifat tak tampak , yang dalam istilah islam disebut ghaib, termasuk didalamnya wujud-wujud atau eksistensi-eksistensi tak nyata dalam dunia ghaib, seperti tuhan, malaikat, iblis atau setan, dan jin, serta aspek dan dimensi jiwa manusia, seperti akal, hati, jiwa, nafsu dan lainnya.
Sedang kan bisnis ialah aktivitas yang dilakukan individu atau organisasi dengan tujuan untuk memperoleh laba atau keuntungan.  kata bisnis dari bahasa Inggris business, yaitu kata dasar busy yang berarti “sibuk” dalam konteks individu maupun komunitas, ataupun masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang mendatangkan keuntungan yang bayak.
Pemikiran spiritual (atau pemikiran mengenai spiritual) dalam islam dikenal dengan tasawuf, atau mistisme Islam, atu sufisme. Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw. Menjadi sumber utama dalam memahami spiritual.
Islam sebagaimana  di dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw. Mengajarkan dunia spiritual. Bahkan keyakinan pada keghaiban merupakan sebuah kualitas inti dari seorang mukmin yang bertakwa, sementara ketaqwaan merupakan kualitas pribadi yang di idealkan dalam ajaran islam. Al-Qur’an dan Hadist juga sering menghubungkan ketaqwaan ini dengan realitas spiritual, seperti ketaqwaan kepada Allah Swt. Reorientasi spiritual yang dimaksud diatas adalah meletakkan kembali acuan-acuan spiritual kepada Allah Swt, dengan terlebih dahulu seseorang harus memiliki perspektif yang lebih baik mengenai dunia spiritual di dalam dirinya. selanjutnya dengan pemahaman yang memedai mengenai dunia spiritual, seseorang diharapkan dapat berperilaku secara proporsional dan mampu menyikapi secara bijak berbagai persoalan sosial ekonomi yang di hadapi. Kebijakan dalam berperilaku dan bersikap ini tentunya sangat dibutuhkan bagi proses pebanguna bangsa di masa mendatang. Kendatipun islam mengajarkan dunia spiritual sebagai pasangan dunia materi atau duna nyata ini, namun sedikit sekali yang memiliki perspektif yang memadai seperti yang diharapkan.                                                                                                                                            
Sudah selayaknya para pebisnis, apalagi pengusaha Muslim, menerapkan budaya manajemen spiritual, yakni menempatkan nilai-nilai universalitas dalam tujuan pencapaian bisnis. Spirit ibadah kepada Allah menjadi landasan bisnis yang sangat kokoh. Karena, setiap aktivitas mendapatkan keuntungan yang selalu berkait erat kepada Sang Pencipta (Creator). Itulah sebabnya tatanan kerja yang terbangun menjadi lebih sakral dibanding sekadar mendapatkan keuntungan finansial semata. Kekuatan inilah yang menjadi turbin penggerak semangat berjuang para penganutnya (man). Karena, setiap langkah perjuangan menjadikan catatan sejarah kehidupan. Yang pasti, landasan peribadahan dalam perjuangan di lahan bisnis harus menuju pada terciptanya dan terbaginya kemakmuran secara adil (creation) kepada semua pihak yang terlibat. Yaitu, crew (karyawan), customer (pelanggan), capital provider (pemilik modal), dan community (masyarakat). Secara sadar, perusahaan diposisikan sebagai sebuah organisme yang berdiri di atas akar rumput dan menyandang misi spiritualitas. Kehadirannya bukan hanya sekadar untuk mendapatkan keuntungan bagi pribadi-pribadi semata. Lebih dari itu, keberadaannya bertujuan untuk mengangkat marwah manusia secara keseluruhan. Pendekatannya bukan hanya pragmatis semata. Jauh dari itu, paradigma yang dibentuk adalah membangun peradaban.
Ada suatu problem dalam masalah ekonoim  yaitu ketidak mampuan dalam memecahkan persoalan kebutuhan manusia, maka pada era sekarang, oleh karena itu, semakin banyak perusahaan yang menyandarkan aktivitas bisnis ataupun lainnya  pada aspek spiritualitas[3] (menjadi spiritual company).  Berbanding terbalik  dengan perusahaan yang mengabaikan faktor spiritual dalam operasionalnya,  perusahaan-perusahaan yang melandaskan aktivitasnya pada nilai-nilai spiritual terbukti mampu bertahan dan berkembang secara baik.
Di tengah deraan persaingan yang begitu ketat, mendapatkan satu jengkal kemajuan meraih profit semakin susah, ditambah himpitan kebutuhan hidup yang kurvanya selalu naik,  godaan mendapatkan profit dengan jalan meleburkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai manusia memang terbentang luas dan lebar, dan gampang.  Justru pada titik inilah tetap menyisipkan balutan spiritual dan etika sebagai penyaring (filter) ketika berbisnis. Sudah saatnya pelaku bisnis dan profesional bisnis tidak hanya piawai menerapkan praktek-praktek bisnis, tetapi juga tidak gagap ketika harus membangun pertemuan yang intens dengan Sang Pencipta. Saatnya untuk mengaitkan benang merah antara bisnis dan ruh spiritual. Karena menyadari bahwa Sang Pencipta Maha Melihat, segala tindakan yang melenceng dari koridor dan etika bisnis pastilah dihindari.
Semangat profesionalisme dalam berbisnis tanpa diimbangi aspek spiritual hanya akan melahirkan manusia-manusia cerdas dan piawai tetapi alpa menebarkan sisi-sisi kemanusiaan dan kesprituilannya dalam melakoni bisnis. Dengan menghubungkan benang merah antara berbisnis dengan ruh spiritual tadi, diharapkan pelaku bisnis dan juga kalangan profesional bisnis menyakini bahwa melakoni bisnis secara benar bukan sekedar didorong karena aturan-aturan main memang mengatur itu, tetapi lebih jauh menjalani bisnis dengan koridor yang benar karena itu merupakan sebuah wujud ibadat yang lebih tinggi kepada Sang Penguasa Alam. Sehingga kalaupun kesempatan untuk melenceng dari koridor dimungkinkan karena ada kelemahan di sistem, tetapi karena mempercayai melakoni dengan benar adalah merupakan perwujudan menjalankan perintah Allah Swt, penyimpangan-penyimpangan dalam bisnis yang masih carut marut terjadi di negeri ini bisa diminimalisir.
Kegiatan ekonomi dalam Islam dapat berubah dari kegiatan material semata menjadi ibadah yang akan mendapat pahala, bila dalam kegiatan itu ia mengharapkan keridhaan Allah Swt. Hal tersebut di benarkan dalam Hadist, bahwa sebagian sahabat Nabi mengetahui seorang pemuda yang bergegas melakukan pekerjaannya. Seorang sahabat berkata “seandainya ini pada jalan Allah ”. maka Nabi bersabda “janganlah berkata demikian, karena jika ia keluar demi anaknya yang kecil-kecil, maka dia berada di jalan Allah. Jika ia keluar demi ibu-bapaknya yang telah tua, ia ada di jalan Allah. Dan jika ia keluar demi dirinya sendiri ia pun masih di jalan Allah. Namun jika ia ingin dipuji orang atau karena membanggakan diri, ia berada di jalan detan. ”
Spiritualitas sekaligus mengandung makna menuju pada integrasi (kepaduan) dan holisme (keutuhan). Juga boleh dikatakan, lawan dari spritualitas ialah reduksionisme, parokialisme, atau sektarianisme.
Karakter spiritual dalam bisnis menjadi penting karena reduksionisme bisnis menjadi misalnya hanya sekedar uang atau making money saja jelas akan menuju kondisi ketidakseimbangan dan akhirnya menuju krisis dan kemudian keambrukan. Dalam pengertian inilah kita lebih memahami pernyataan terkenal E. F. Schumacher yang mengatakan bahwa semua krisis bermula dari krisis spiritual. Sekarang dapat kita pahami bahwa krisis spiritual berarti macetnya proses-proses transendensi yang kemudian bergerak menuju kemiskinan, pendangkalan, mono-dimensionalisme, dan berakhir dengan krisis Jadi dengan lugas dapat dikatakan bahwa spiritualitas itu memperkuat kehidupan; sedangkan mengabaikannya berarti memperlemah kehidupan, membawa krisis dan ujungnya kematian.
Transendensi secara umum dilakukan dalam bentuk pendalaman vertikal maupun horizontal atas realitas yang dikaji dengan menggunakan seluruh akal budi kita yang akhirnya mewujud menjadi konsep, teori atau paradigma; dan selanjutnya mengubah praktik-praktik kehidupan.
Sebuah contoh sederhana dapat dikemukakan. Dalam Wisdom of the Electronic Elite dijelaskan bahwa dewasa ini terjadi pemahaman-pemahaman yang meluas (transendensi) dalam dunia bisnis sebagai berikut:
  • Bahwa bisnis adalah ekosistem; bukan medan persaingan saja
  • Bahwa perusahaan adalah komunitas; bukan mesin uang saja.
  • Bahwa manajemen adalah pelayanan; bukan kontrol saja.
  • Bahwa manajer adalah pelatih; bukan mandor saja.
  • Bahwa karyawan adalah sejawat; bukan pembantu saja.
  • Bahwa motivasi datang dari visi; bukan upah saja.
  • Bahwa perubahan adalah pertumbuhan; bukan penderitaan saja.

Fenomena menarik yang belakangan ini kita saksikan bersama adalah maraknya gairah para eksekutif bisnis untuk mendalami nilai-nilai agama. Tempat-tempat ibadah dipenuhi para eksekutif. Kantor-kantor, tak peduli perusahaan lokal maupun multinasional, membuka tempat bagi eksekutif dan karyawannya untuk mengembangkan dan mendiskusikan ajaran agama. Malah tidak sedikit para eksekutif menjadi aktivis keagamaan yang kini menjadi trend kembali seperti tasawuf (Islam), karismatik (Kristen). Maraknya trend para eksekutif mendalami kembali ritual-ritual agama bagaimana pun harus dipahami sebagai sebuah ekspresi kerinduan mereka untuk mengintegrasikan nilai-nilai etis, moral dan spiritual ke dalam lingkungan bisnisnya yang cenderung sekuler, kering, dan materialistik.
Memang ada pendapat sebagian orang  bahwa eksekutif dan birokrat yang mendalami agama hanya sekedar topeng,  terbukti dengan tetap maraknya korupsi, manipulasi dan kolusi di negeri ini  tidak seluruhnya dapat ditepis. Pertumbuhan tempat ibadah yang tampaknya sejajar dengan pertumbuhan aktivitas korupsi, tak pelak menjadi ironi tersendiri di tengah keinginan untuk memperbaiki moral warga negara.
Kita dapat berpendapat bahwa gairah para eksekutif bisnis mendalami nilai-nilai dan ritual agama kita pahami sebagai minat untuk mengembangkan bisnis yang berbasis pada moralitas dan profesionalitas. Setelah cukup lama dikungkung oleh budaya kerja yang jauh diri nilai-nilai luhur tersebut, kini para eksekutif mulai mengalami pencerahan untuk membangun kehidupannya dengan nuansa spiritual yang pada gilirannya akan mewarnai pula praktik bisnis yang digelutinya. Dalam wacana kita, etos baru eksekutif inilah yang disebut sebagai spiritualitas bisnis.


DAFTAR PUSTAKA :
Hady, Samsul. Islam spiritual. 2007. Malang : UIN Malang Press.
Al-Assal, Ahmad Muhammad. 1999. Sistem, prinsip dan tujuan ekonomi Islam.(Bandung:Pustaka Setia).
RI, Departemen Agama. Al-Qur’an dan  terjemahnya. 2005. Bandung : J-Art.
Qardhawi, Yusuf. Norma dan Etika Ekonomi Islam. 1997.Jakarta : Gema Insani press.

Jus’maliani dkk. Bisnis Berbasis Syari’ah. 2008. Jakarta : Bumi Aksara.
Abdullah, Yatimin. Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an. 2007.Jakarta : Sinar Grafika Offset.
Qardhawi,Yusuf. Peran Nilai Moral daam Perekonomian Islam. 2001.Jakarta : Rabbani Press.
Yunus, Muh. Islam dan Kewirausahaan Inovatif. 2008. Malang : UIN Malang Press.
Sukirno, Sadono. Pengantar Bisnis. 2004.Jakarta : Prenada Media.
Amalia, Euis. Keadilan Distributif Dalam Agama Islam. 2009. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada..


[1] Samsul Hady. Islam spiritual. Malang : UIN Malang Press. 2007
[2] Sadono Sukirno. Pengantar Bisnis. Jakarta : Prenada Media. 2004
[3] Euis Amalia. Keadilan Distributif Dalam Agama Islam. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada. 2009.
[4] Ahmad Muhammad Al-Assal. Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam.(Bandung, Pustaka Setia 1999)
[5] Yusuf Qardhawi. Peran Nilai Moral daam Perekonomian Islam. Jakarta : Rabbani Press. 2001
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan  terjemahnya. Bandung : J-Art. 2005
[7] Jus’maliani dkk. Bisnis Berbasis Syari’ah. Jakarta : Bumi Aksara. 2008
[8] Yatimin Abdullah. Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta : Sinar Grafika Offset. 2007.
[9] Yusuf Qardhawi. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta : Gema Insani press. 1997
[10] Muh. Yunus. Islam dan Kewirausahaan Inovatif. Malang : UIN Malang Press. 2008
[11] Samsul Hady. Islam spiritual. Malang : UIN Malang Press. 2007
[12] Sadono Sukirno. Pengantar Bisnis. Jakarta : Prenada Media. 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar