Minggu, 23 Desember 2012

fenomena spiritual di era spiritual dan kehidupan bisnis di era spiritual etika bisnis



Fenomena Spiritual di Era Spiritual

Kita lihat saat ini kecenderungan perusahaan merekrut orang-orang yang mempunyai pandangan jernih terhadap dunia yang singkat ini mulai banyak dilakukan, mengingat fungsinya yang bisa memberikan terapi bagi para pegawai untuk optimis dan semangat dalam bekerja. "Sekarang banyak sufi yang bisa ditemui di perusahaan-perusahaan,"
Sebenarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara spiritual dan bisnis. Seperti itulah yang dicontohkan Rasulullah saw. dan para shahabat. Mereka mengaplikasikan nilai-nilai spiritual ke seluruh aspek kehidupan. Mereka membawa nilai-nilai masjid ke pasar. Ini mencerminkan ajaran Islam yang komprehensif dan integral. Rasulullah Saw. Pernah mengatakan bahwa sebagian besar rezeki manusia diperoleh dari aktivitas perdagangan. Hal ini disabdakan beliau dalam hadist yang diriwayakan oleh Ibrahin Al-Harabi, yang artinya :

Beerdaganglah kamu, karena sembilan dari sepuluh pintu rezeki diantaranya dihasilhan dari berdagang.
Pemahaman tentang nilai-nilai agama dan kemanusiaan yang merupakan sumber dari spiritualitas ternyata mampu memengaruhi hasil kesuksesan seseorang. Sudut pandang terhadap kehidupan dunia yang dinilai hanya sementara menjadikan kesuksesan yang diraih seseorang tidak dinikmati sendiri, tetapi dijadikan sumber penghidupan bagi orang lainnya.
Banyak pengusaha sukses dunia yang hidupnya sederhana dan santun. Bahkan tanpa harta kekayaan pribadi. Yang diberikan kepada anak-anaknya adalah kemampuan untuk bisa bekerja sendiri.
Dalam pelaksanaan proses bisnis sebuah perusahaan, Human Empathy tidak terkait langsung dengan maksimalisasi profit. Jika winning spirit dapat menghasilkan sales, profit, ataupun market share, maka human empathy lebih berorientasi pada hasil yang bersifat jangka panjang. Human empathy lebih memandang anggota organisasi sebagai seorang manusia secara utuh.

Kehidupan Bisnis di Era Spiritual
Sebuah hal baru sebenarnya telah dimulai dalam dunia bisnis, yakni era dimana kapitalisme mulai menuju babak baru. Yakni era spiritualisme. Begitu pula dalam bisnis, spiritual mulai kembali lagi merebab di kalangan para pelaku bisnis. Sebuah penelitian pun diungkapkan setelah mewancarai ribuan bisnisment, ditemukan bahwa ahli spiritual yang religious bukan di tempat-tembat ibadah yakni pada tempat-tempat bisnis atau kantor.
Meskipun persoalan hubungan agama dan modernisasi (industrialisasi) masih kontroversial, namun patut dicermati adanya fenomena yang menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan keagamaan pada saat sekarang semakin diminati. Orang dari berbagai kalangan, telah menaruh minat yang luar biasa terhadap akhlak dan agama dalam berbisnis, dimana spiritual dalam kehidupan manusia menempati tempat yang penting[2]. Modernitas dalam segala wujudnya dipandang tidak mampu memberikan kehidupan yang lebih bermakna bagi manusia. Kenyataan tersebut jelas menjadi antitesa teori yang menyatakan bahwa modernisme dan modernisasi merupakan lonceng kematian bagi agama. Berkaitan dengan hal ini maka dapat dikatakan bahwa peranan agama di masa sekarang dan masa mendatang tetap penting. Sebab, memang kesadaran spiritual bagi setiap orang di setiap generasi merupakan bagian dari kesadaran providensi (keilahian). Jika manusia menginginkan kebahagiaan , maka sesungguhnya ia tidak akan memperolehnya dengan mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya.[3]
Semangat akan pengembangan spiritual ini bisa kita lihat dari banyak pelatihan disana tentang pengembangan kepribadian, jiwa serta mental dalam komunikasi horizontal. Seperti contohnya positif thinking dan positif feeling adalah bebarapa rumus penting dalam setiap pelatihan pengembangan kepribadian yang ada di barat, yang kemudian beberapa ulama’ motivasi di Indonesia mencontohnya dari buku-buku motivator atau pelatihan (training) yang digawangi dari motivator barat atau luar.


[1] Jus’maliani dkk. Bisnis Berbasis Syari’ah. Jakarta : Bumi Aksara. 2008
[2] Yatimin Abdullah. Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta : Sinar Grafika Offset. 2007.
[3] Yusuf Qardhawi. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta : Gema Insani press. 1997

Tidak ada komentar:

Posting Komentar