HUBUNGAN
AL-QUR’AN DENGAN EKONOMI
Al-Qur'an
merupakan wahyu dan kalamullah yang diturunkan melalui Jibril kepada Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam dengan bahasa Arab untuk orang-orang yang berilmusebagai
peringatan dan kabar gembira, dan berpahala bila membacanya[1], sebagaimana firman Allah
ta'ala:
"Dan sesungguhnya al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Rabb semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”. (Asy-Syu'ara:192-195)
Al-Qur’an
adalah sumber ajaran Islam yang utama. Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang
diturunkan kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW. Al-Qur’an dijaga dan dipelihara
oleh Allah SWT, sesuai dengan firmannya sebagai berikut:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan
Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”.
(Al-Hijr:9)
Al-Imam
Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah berkata: "Al-Qur'an adalah
kalamullah-bukan makhluk. Siapa yang mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk, maka
dia telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung, tidak diterima persaksiannya,
tidak dijenguk jika sakit, tidak dishalati jika mati, dan tidak boleh
dikuburkan di pekuburan kaum muslimin. Ia diminta taubat, kalau tidak mau maka
dipenggal lehernya.
Dan didalam Al-Qur’an terdapat beberapa kandungan, antara lain adalah:
1. Pokok-pokok keimanan (tauhid) kepada
Allah, keimanan kepada malaikat, rasul-rasul, kitab-kitab, hari akhir,
qodli-qodor, dan sebagainya.
2. Prinsip-prinsip syari’ah sebagai dasar pijakan manusia dalam hidup agar tidak salah jalan dan tetap dalam koridor yang benar bagaiman amenjalin hubungan kepada Allah (hablun minallah, ibadah) dan (hablun minannas, mu’amalah).
3. Janji atau kabar gembira kepada yang berbuat baik (basyir) dan ancaman siksa bagi yang berbuat dosa (nadzir).
4. Kisah-kisa sejarah, seperti kisah para nabi, para kaum masyarakat terdahulu, baik yang berbuat benar maupun yang durhaka kepada Tuhan.
5. Dasar-dasar dan isyarat-isyarat ilmu pengetahuan: astronomi, fisika, kimia, ilmu hukum, ilmu bumi, ekonomi, pertanian, kesehatan, teknologi, sastra, budaya, sosiologi, psikologi, dan sebagainya.
Dari
sudut pandang isinya, Al-Qur’an lebih banyak membahas mengenai kehidupan
manusia baik secara individual maupun secara umum. Dan Al-Qur’an dalam mengajak
umat manusia untuk mempercayai dan mengamalkan tuntutan-tuntutannya dalam segala
aspek kehidupan seringkali menggunakan
istilah yang dikenal dalam dunia bisnis, seperti jual beli, untung rugi dan
sebagainya.[2]
Al Qur’an Al Karim
tidak hanya menjelaskan soal keyakinan, keimanan dan aqidah. Di dalam al Qur’an
juga mengandung mukjizat, baik susunan bahasa maupun kandungan isinya. Dalam
kandungan al Qur’an juga memuat tentang nilai-nilai ekonomi. Dan bersumber dari
Al-Qur’an juga maka lahirlah ekonomi syari’ah. Ekonomi
syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah
ekonomi rakyat yang dilhami oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah berbeda
dari kapitalisme, sosialisme, maupun negara kesejahteraan (Welfare State).
Berbeda dari kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal
terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu,
ekonomi dalam kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran
yang memiliki dimensi ibadah.
Jika disebut bahwa
Al-Qur’an sebagai suber ajaran dalam ekonomi islam, maksudnya bukan Al-Qur’an
memuat ajaran secara lengkap apa yang disebut sebagai sistem ekonomi islam
seperti, barang dan jasa apakah yang akan diproduksi, bagaimna memproduksinya
dan kepada siapa barang tersebut di distribusikan sehingga ia memiliki manfaat
dalam masyarakat. Akann tetapi maksudnya adalah Al-Qur’an memuat nilai-nilai
universal tentang bagaimana sebenarnya ekonomi islam itu harus diformulasikan.[3]
Dalam konsep
ekonomi islam, konsep yang ditawarkan Al-Qur’an dan hadist adalah wacana global
tentang kehidupan ekonomi yang fungsinya sebagai frame terhadap kebijakan dan
langkah yang ingin direlisasikan.[4] Sebagaimana firman Allah
Swt :
“ Hai orang-orang beriman, apabila
diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli . yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui”. (Al-Jumu'ah : 9)
Ayat diatas memberi
pengertian agar berbisnis (mencari kelebihan karunia Allah) dilakukan setelah
melakukan shalat dan dalam pengertian tidak mengesampingkan tujuan keuntungan
yang hakiki yaitu keuntungan yang dijanjikan Allah Swt. Oleh karena itu,
walaupun mendorong melakukan kerja keras termasuk dalam berbisnis, Al-Qur’an
menggarisbawahi bahwa dorongan yang seharusnya lebih besar dari dorongan bisnis
adalah memperoleh apa yang berada disisi Allah Swt.[5]
Sebagai sumber
nilai dan sumber ajaran, Al-Qur’an pada
umumnya memiliki sifat yang umum (majmu’), oleh karena itu daperlukanlah
usaha-usaha untuk dapat memahami isi kandungan Al-Qur’an tersebut.
Dan dari aspek
mendapatkan, menggunakan dan mendistribusikan harta. al Qur’an al Karim memberi
petunjuk bahwa proses transaksi untuk mendapatkan harta harus saling rela
(ridha), dan tidak menyebutnya “bebas” untuk mendapatkan harta. Sebab kata
“bebas” dalam memperoleh harta akan melahirkan pencarian untuk mendapatkan
harta dengan cara apapun yang bebas nilai asalkan mendapat untung
sebesar-besarnya.
Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh
dirimu Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.
(An-Nisa : 29)
Ayat ini
menunjukkan bahwa proses transaksi adalah tukar menukar yang saling rela. Tukar
menukar artinya saling menerima dan saling memberi. Kedua belah pihak sama-sama
mendapatkan, kedua belah pihak saling menguntungkan dan saling merasakan
manfaatknya. Kemudian, antara kedua belah pihak saling ridha, saling merasa
ikhlas dari dalam dirinya untuk menerima dan memberi dalam proses transaksi.
Maka diharamkan transaksi riba, judi, penipuan dan kebohongan karena semua itu
menyebabkan kezaliman.
Dan contoh lainnya
adalah masalah distribusi. Al Qur’an al Karim menyebutkan masalah distribusi
berkaitan erat dengan keadilan. Distribusi kekayaan dan harta secara merata
dapat mengurangi kesenjangan dan kepincangan sosial. Konsep pemerataan
distribusi kekayaan ini berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang menjunjung
kepemilikan pribadi sehingga mengeksploitasi kekayaan dan menzalimi orang lain,
demikian juga sistem ekonimi sosialis yang menjunjung kepemilikan umum sehingga
menghilangkan hak individu.
Allah SWT berfirman:
“
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari
harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah,
untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang
yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang
Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah.
dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.”
Sebenarnya, ayat di
atas secara keseluruhan sedang berbicara tentang fai’ (harta rampasan yang
diperoleh dari musuh tanpa pertempuran), sehingga tafsir asalnya adalah “apa
yang diberikan Rasul (dari harta fai’) kepadamu maka terimalah dia” demi
terciptanya keadilan distribusi. (lihat Tafsir Jalalain). Tetapi para mufassir
seperti Ibnu Katsir dan al-Qurthubi juga menafsirkan ungkapan “apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia” dengan makna “apa yang
diperintahkan Rasul …” berhubung setelahnya ada perintah untuk meninggalkan apa
yang dilarang oleh Rasul, di samping itu juga karena adanya riwayat-riwayat
hadis yang mendukung makna tersebut.
Perintah untuk
mendistribusikan kekekayaan yang termaktub dalam ayat di atas menunjukkan bahwa
Al Qur’an menginginkan adanya keadilan dalam distribusi meskipun sebagian yang
lain sebenarnya memperoleh lebih banyak tetapi ia harus berbagi kepada yang
belum beruntung. Orang yang memiliki harta lebih harus berbagi dengan
masyarakat lainnya yang berkekurangan, baik melalui bantuan, sedekah, wakaf,
zakat maupun cara penyediaan lapangan pekerjaan.
Menurut pandangan Islam, Kehidupan dunia adalah ladang untuk bercocok tanam yang akan dipanen di akhirat kelak. Dalam pandangan Islam, harta bukan tujuan tetapi hanya sarana untuk mencapai kehidupan beragama yang baik. Karenanya, aktifitas ekonomi tidak semata-mata untuk menumpuk kekayaan, tetapi cara memperoleh dan menggunakannya harus berlandaskan keimanan, akhlak dan keseimbangan antar fisik dan ruh.
Menurut pandangan Islam, Kehidupan dunia adalah ladang untuk bercocok tanam yang akan dipanen di akhirat kelak. Dalam pandangan Islam, harta bukan tujuan tetapi hanya sarana untuk mencapai kehidupan beragama yang baik. Karenanya, aktifitas ekonomi tidak semata-mata untuk menumpuk kekayaan, tetapi cara memperoleh dan menggunakannya harus berlandaskan keimanan, akhlak dan keseimbangan antar fisik dan ruh.
Daftar
Pustaka :
Syaikh Manna’ Al-Qaththan. Pengantar
Studi Ilmu Hadits Edisi Terjemah. Jakarta. Pustaka Alkautsar, 2004.
Mansur
Hasan nasution. Lebih dekat dengan al-qur’an. (bandung:citapustaka media
perintis, 2009)
Marthon,
Said Saad. Ekonomi Islam. Jakarta : Zikrul Hakim, 2004.
Muhammad,
Lukman Fauroni. Visi Al-Qur’an Tentang Etika dan Bisnis. Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002.
Karim,
Adiwarman. Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani, 2001
Fadhil
Nur Ahmad, Akmal Azhari. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta : Hijri Pustaka
Utama, 2001
[1] Manna’ Khalil Al-Qattan. Studi
Ilmu-ilmu Qur’an. (Bogor:Pustaka Lentera Antar Nusa, 2011)
[2] Muhammad,Luqman Fauroni. Visi
Al-Qur’an tentang etika dan bisnis. Jakarta:Salemba Diniyah
[3] Nur Ahmad Fadhil, dan Azhari
Akmal. Etika Bisnis Dalam Islam. Jakarta : Hijri Pustaka Utama 2001
[4] Said sa’ad marthon. Ekonomi
islam. Jakarta:Zikrul Hakim, hal.20
[5] Muhammad,Luqman Fauroni. Visi
Al-Qur’an tentang etika dan bisnis. Jakarta:Salemba Diniyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar